Cakra101, Jakarta.- Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri) Bima Arya Sugiarto menegaskan bahwa upaya merevisi Undang-Undang (UU) tentang Pemilihan Umum (Pemilu) harus dilandasi kerangka akademis dan konstitusional, bukan semata-mata didorong oleh kepentingan politik.
Karena itu, secara paralel, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) terus membuka ruang seluas-luasnya bagi publik untuk memberikan saran dan masukan dalam penyusunan draf awal Rancangan Undang-Undang (RUU) tersebut yang tengah dilakukan.
“Karena kita percaya, semakin besar ruang ini, maka semakin berkualitas pula undang-undang yang dihasilkan,” ujar Bima dalam acara Diskusi Publik bertema “Revisi Paket RUU Pemilu” yang digelar di Kantor Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Demokrat, Jakarta, Senin (19/5/2025).
Bima kembali menekankan pentingnya melibatkan pihak-pihak yang kompeten dan kredibel, seperti para pegiat pemilu, dalam penyusunan RUU tersebut. Menurutnya, perspektif mereka dibutuhkan untuk memperkaya substansi RUU Pemilu.
“Harus menggunakan orang-orang seperti Mas Burhan (Burhanuddin Muhtadi–Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia), yang menekuni empirical studies, jadi [berdasarkan] data-data, by data, dan kedua, perspektif konstitusi yang sangat penting,” ujar Bima.
Ia menjelaskan, sistem pemilu di Indonesia termasuk salah satu yang paling kompleks di dunia. Kompleksitas tersebut muncul dari kombinasi berbagai model demokrasi yang diadopsi dari negara lain, seperti sistem presidensial ala Amerika Serikat dan dinamika multipartai khas negara-negara Eropa.
“Jadi kita punya one of the most complicated—if not the most complicated—system di dunia,” katanya.
Meski demikian, Bima menilai Indonesia mampu beradaptasi dengan sistem pemilu yang kompleks. Sejak era reformasi, Indonesia telah sukses menyelenggarakan enam pemilu nasional secara damai, serta satu siklus pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak yang berlangsung relatif lancar.
Lebih lanjut, Bima menyampaikan, tantangan ke depan tidak hanya menjaga kualitas demokrasi, tetapi juga memastikan terciptanya governability dan unity. Menurutnya, ketiga aspek ini harus diselaraskan dalam desain sistem pemilu nasional.
“Democracy, governability, and unity itu tiga hal yang tidak mudah disandingkan, di banyak negara itu gagal. So far kita berhasil, tinggal penguatan-penguatan di masing-masing dimensi tadi,” ucap Bima.
Ia menambahkan, arah kebijakan politik nasional ke depan harus mempertimbangkan konteks dan tantangan baru. Hal ini penting untuk mendukung pencapaian target besar menuju Indonesia Emas 2045 dan ambisi menjadi lima besar kekuatan ekonomi dunia. Karena itu, evaluasi terhadap sistem pemilu yang ada perlu dilakukan agar benar-benar kompatibel dengan tujuan jangka panjang bangsa.
“Sekarang dimensinya agak lain, kita di persimpangan jalan, [kita harus tentukan] sistem mana yang compatible dengan target kita tadi,” ujar Bima.
Sebagai informasi, acara ini juga dihadiri oleh Wakil Ketua Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI) Dede Yusuf Macan Effendi, Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Mochammad Afifuddin, Ketua Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) RI Rahmat Bagja, perwakilan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini, dan Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi.
MC101 – Puspen Kemendagri