SEMARANG, Cakra101.com – Sudah sepekan berlalu, banjir parah masih melanda 24 kelurahan di 5 kecamatan Kota Semarang, melumpuhkan aktivitas. Jumlah warga terdampak naik dua kali lipat menjadi 63.450 jiwa, dan banjir telah menelan 4 korban meninggal dunia.
Kondisi ini mendorong relawan Bolonemase Indonesia kembali turun tangan memberikan bantuan, pada Kamis, 30 Oktober 2025. Tim dipimpin oleh Fauzi Ardiansyah (Koordinator Bolonemase Indonesia Kota Semarang) beserta beberapa koordinator kelurahan dan 78 anggota relawan menyalurkan bantuan di Kelurahan Tenggang, Tlogomulyo, dan Tlogosari.
Fauzi Ardiansyah menjelaskan bahwa bantuan kemanusiaan ini, yang kedua kalinya dalam sepekan, berasal dari Koordinator Nasional (Koornas) Bolonemase Indonesia, Kuwat Hermawan Santoso. Bantuan berupa 450 paket kebutuhan makanan (mi instan, telur, dan obat gatal kulit) didistribusikan langsung.
Atin, mewakili Koordinator Kelurahan, menyampaikan rasa terima kasih atas kepedulian Koornas Kuwat HS dan teman-teman Bolonemase Indonesia kepada warga yang terdampak.
Melalui video call, Kuwat Hermawan Santoso (Koornas Bolonemase Indonesia) menyampaikan:
“Turut prihatin atas kepedihan warga Kota Semarang yang hampir tiap tahun terdampak banjir… terpenting saat ini warga dapat bersabar dan berdoa… pemerintah pusat dan daerah bisa bersatu damai untuk menyelesaikan hulu permasalahan banjir… secepat mungkin.”
Dalam kesempatan ini pula, Mas Fauzi menyampaikan bahwa banjir tahunan di Kota Semarang ini terjadi karena sistem “manajemen berdasarkan kecelakaan” dari pemerintah, yang selalu berputar di hilir persoalan tanpa pernah menyentuh permasalahan di hulu. Mari kita lihat dan buka kembali jejak digital dari zaman Gubernur Ganjar Pranowo hingga kini. Setiap terjadi banjir di Kota Semarang, jawaban dan alasan klasiknya selalu sama persis: selalu dimulai dari cerita dua pompa air yang rusak, sedang diperbaiki, atau sedang diperbarui mesinnya. Alasan yang sejuk didengarkan, tetapi sesungguhnya itu adalah sinyal alarm matinya empati para pejabat pemerintahan kota dan provinsi.
Mas Fauzi pun menambahkan bahwa selama ini, upaya yang dilakukan adalah membangun tanggul laut, normalisasi sungai, ‘menyalahkan’ pompa, dan perbaikan saluran drainase. Sekarang, muncul lagi istilah modifikasi cuaca. Namun, daerah hulu tidak pernah ada pembahasan, sehingga akar masalah yang sesungguhnya mungkin bukan itu. Tembok Laut Raksasa (Giant Sea Wall) bukan menyelesaikan masalah, melainkan hanya menunda masalah. Teknologi tembok laut saat ini sudah menjadi teknologi usang yang tidak direkomendasikan oleh PBB (UN-HABITAT). Saya memang bukan ahli kelautan, tetapi jika kita mau belajar, banyak sekali jurnal akademis hasil penelitian terkait tembok laut dari para ahli dan akademisi di bidang kelautan yang mengatakan tembok laut itu teknologi usang, tidak lagi efektif, dan hanya merupakan bom waktu.
Ia berpendapat bahwa teknologi itu hanya berpotensi meninggalkan kolam retensi air kubangan comberan besar yang akan menjadi masalah baru dan berdampak pada kerugian ekonomi nelayan yang sangat besar. Mulai dari hilangnya mata pencaharian nelayan dan petambak, serta hanya menggeser banjir ke lokasi lain.
“Entah mengapa ini terus dipaksakan berjalan. Justru UN-HABITAT saat ini banyak mendorong negara di dunia untuk mengadopsi konsep teknologi dari nenek moyang kita Suku Bajo sebagai solusi tuntas perubahan iklim dan penanganan banjir, serta ancaman tenggelamnya tanah di pesisir laut. Maladewa dan Kota Busan, Korea Selatan, bisa menjadi referensi keberhasilan dalam mengatasi ancaman tenggelamnya sebuah negara dengan mengadopsi konsep Bajo. Bahkan, negara mestinya bangga karena konsep leluhur bangsa kita seperti konsep Bajo ini sudah diadopsi oleh PBB. Tetapi, mengapa justru di negeri sendiri kita meninggalkan kearifan lokal ilmu para leluhur dan tidak mencoba mengaplikasikannya? Perlu solusi yang jitu untuk menangani bencana ini. Sudah saatnya untuk bergandengan tangan, bukan melempar tanggung jawab kewenangan. Bencana dapat terjadi, tetapi ketidaksiapan adalah bentuk kelalaian.” ujarnya.
“Kepada Bapak Gubernur dan Ibu Wali Kota Semarang yang kami hormati, rakyat Jawa Tengah dan Kota Semarang berharap bukan hanya pada pembangunan fisik, tetapi juga pada perlindungan nyawa dan rasa aman. Keberhasilan pemerintah bukan sekadar diukur dari proyek besar, tetapi dari kemampuan menjaga warganya dari bahaya yang dapat dicegah. Kami menanti tindakan nyata, bukan sekadar reaksi setelah korban berjatuhan. Untuk para korban, kami berduka. Untuk Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kota Semarang, kami menagih tanggung jawab,” ucap Koordinator Bolonemase Indonesia Kota Semarang, Fauzi, menutup pesannya.
MC101 – W012/Dan




