JAKARTA, Cakra101.com – Komisi Percepatan Reformasi Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) menggelar audiensi dengan perwakilan pegiat lingkungan di Ruang Aspirasi Kementerian Sekretariat Negara, Rabu (26/11/2025). Dengan audiensi ini, komisi akan menampung berbagai aspirasi dan rekomendasi di bidang lingkungan untuk transformasi Polri. Kegiatan ini dihadiri oleh beberapa anggota Komisi Percepatan Reformasi, yaitu Jimly Asshiddiqie, Badrodin Haiti, Ahmad Dofiri serta Nico Afinta yang mewakili Supratman Andi Agtas.
Audiensi dibuka oleh anggota Komisi Percepatan Reformasi Polri Badrodin Haiti. Ia membuka kesempatan bagi pegiat lingkungan untuk memberikan kritik dan saran bagi Polri mulai dari tahap perencanaan hingga pengawasan.
“Nantinya kritik ini akan kami laporkan ke Presiden, kami diberi waktu tiga bulan. Presiden juga berpesan, yang direformasi tidak hanya Polri, namun juga terbuka untuk saran bagi institusi lainnya,” ujar Badrodin.
Rekomendasi pertama datang dari Manajer Hukum dan Pembelaan Wahana Lingkungan Hidup (WALHI), Teo Reffelsen. Teo menilai Polisi memiliki pendekatan berbeda dalam menanggapi laporan terkait masalah lingkungan yang berasal dari perusahaan dan masyarakat. Sampai 2024, Teo mencatat terdapat 1.131 kasus kriminalisasi warga.
Menurut Teo, hal ini bisa terjadi karena dua alasan yakni kekosongan peraturan dalam menangani laporan masyarakat dan kurangnya pemahaman di anggota kepolisian.
“Kami berharap, Komisi Percepatan Reformasi Polri bisa merekomendasikan kepada Presiden bahwa Polisi perlu peraturan terkait pelayanan laporan masyarakat,” ungkap Teo.
Country Director Greenpeace Leonard Simanjuntak menambahkan bahwa kepolisian kerap membantu perusahaan swasta yang tengah berurusan dengan masalah agraria. Tidak ada tindak pidana dalam praktik tersebut, namun Leonard menyoroti adanya ketakutan di masyarakat dan pegiat lingkungan karena hadirnya Polri dalam beberapa kasus.
“Juga penggunaan fasilitas kepolisian dalam hal tersebut dibeli dari pajak masyarakat,” ujar Leonard.
Oleh sebab itu, Leo menawarkan 4 syarat utama untuk Reformasi Polri. Mulai dari mengurangi kewenangan dan anggaran Polri, menghentikan konflik kepentingan yang berkaitan dengan Polri, memutus imunitas Polri melalui penguatan fungsi pengawasan terhadap Polri, dan memperbaiki fungsi penegakan hukum Polri.
Senada dengan Leonard dan Teo, Kepala Divisi Penanganan Kasus Pengurus Besar Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sinung Karto menilai kepolisian lebih berpihak pada investor atau pihak swasta daripada masyarakat. Sinung menyebut polisi perlu membuka pintu pengawasan eksternal, tidak hanya internal. “Jadi pengawasan itu tidak hanya internal, buka ruang, cari cara, agar masyarakat bisa ikut memberikan masukan,” ujar Sinung.
Direktur Utama Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) Raynaldo G. Sembiring kemudian menawarkan regulasi Anti-SLAPP alias Anti Strategic Lawsuit Against Public Participation di tubuh Polri sebagai salah satu solusi. Program ini menolak litigasi manipulasi untuk mengekang hak partisipasi masyarakat.
“Kita butuh peraturan Polri yang mengatur Anti-SLAPP untuk menghentikan kriminalisasi pada masyarakat sedini mungkin. Kita tahu proses kriminalisasi didahului dari proses penyelidikan, karena kalau sudah masuk di kejaksaan itu sudah terlambat,” ujar Raynaldo.
Audiensi ini kemudian ditutup dengan apresiasi oleh Ketua Komisi Percepatan Reformasi Polri Jimly Asshiddiqie. Pakar hukum tata negara ini menyebut ada empat kelompok yang bisa menggerakkan masyarakat, yakni pasar, negara, organisasi masyarakat, dan media. Aktivis selaku bagian dari organisasi masyarakat, menurutnya perlu dijaga untuk kepentingan masyarakat.
Anggota Komisi Percepatan Reformasi Polri Ahmad Dofiri turut menanggapi masukan khusus terkait Anti-SLAPP. Menurutnya, Polisi harus berada di pihak netral sehingga harus ada jelas legalitas pegiat lingkungan yang jumlahnya banyak.
MC101 – MEL/KHA-Humas Kemensetneg






